Minggu, 02 Juni 2013

Abdul Rahman Bin Auf - Pedagang Kaya Yang Sukses Dunia Akhirat

Abdul Rahman Bin Auf adalah salah seorang sahabat Rasulullah yang akrab. Dia juga adalah salah seorang sahabat Rasulullah yang terkaya sebagaimana juga halnya dengan Sayyidina Utsman Bin Affan ra Menurut ahli sejarah, Abdul Rahman Bin Auf dilahirkan 10 tahun sesudah tahun gajah dan ia hidup sebagai seorang pemuda Quraisy dikota Mekah yang saat itu penuh dengan bermacam-macam kemaksiatan jahiliah berupa penyembahan berhala maupun kejahatan-kejahatan lainnya. Namun demikian Abdul Rahman    terhindar dan bermacam-macam kejahatan yang merajalela ketika itu. Bahkan sebelum memeluk agama Islam lagi, Abdurrahman Bin Auf telah memiliki anggapan bahwa minuman arak itu adalah terlarang.
Abdul Rahman Bin Auf telah memeluk Islam sebelum Rasulullah saw memasuki Darul Arqam lagi. Dengan hal demikian nyatalah bahwa ia tergolong orang-orang Islam yang awal dan menurut riwayat beliau adalah orang yang 8 dan orang-orang awal yang memeluk Islam. Adalah diriwayatkan bahwa ibu Abdul Rahman Bin Auf sesudah mengetahui Abdurrahman Bin Auf memeluk Islam, iapun berkata kepada anaknya, "Aku akan berjemur dipanas matahari yang terik di siang hari dan di waktu ma1am yang dingin aku akan bermalam diruang lapang, sampai engkau mengaku akan kembali kembali kepada agama nenek moyangmu”. Demikian ibunya mengancam. Sungguhpun begitu Abdurrahman Bin Auf tetap tegak memeluk agama suci dan mencintai Rasulullah SAW
Adapun nama asli Abdul Rahman sebelum dia memeluk Islam adalah Abdul Ka'bah, tetapi kemudian setelah Islam dia mengganti namanya menjadi Abdul Rahman. Sebagai seorang sahabat Rasulullah yang akrab, Abdul Rahman memiliki satu keistimewaan yang khas yaitu berjuang untuk menegakkan agama Allah bukan saja dengan pedangnya bahkan dengan harta dan kekayaannya. Beliaulah antara para sahabat yang banyak sekali mengorbankan kekayaannya untuk memperjuangkan kepentingan Islam. Abdul Rahman pernah membagi dua kekayaannya untuk dibagi kepada fakir miskin dan pernah pula menyerahkan seluruh kekayaannya untuk kebutuhan sabilillah demi menegakkan panji-panji Islam.
Banyak sahabat yang telah memimpin penjuangan Islam dan menyibarkan syiar Islam yang berjuang sebagai panglima atau sebagai pahlawan Islam yang dikenal sejarah, tetapi Abdul Rahman Bin Auf telah melakukan kepahlawanannya dengan jalan menyerahkan seluruh kekayaannya dalam menegakkan Islam.
Sebagai seorang Islam yang awal, Abdurrahman Bin Auf juga telah mengalami berbagai penderitaan dan penyiksaan dari masyarakat Quraish di Mekah. Karena mengingat kondisi kaum Muslimin yang sangat sedikit itu sementelahan pula mengalami berbagai macam ancaman maka Rasulullah saw akhirnya telah memerintahkan para pengikutnya agar melakukan hijrah ke negeri Abbysinia karena menurut Rasul disana ada sebuah kerajaan yang tidak lalim terhadap rakyatnya. Tidak lama kemudian maka berangkatlah  rombongan pertama yang melakukan hijrah yang terdiri dan 10 orang pria dan 4 orang wanita dan 17 wanita serta anak-anak. Dan diantara yang melakukan hijrah yang terdiri dan 10 orang pria dan 4 orang wanita lalu disusul dengan rombongan kedua yang terdiri dan 83 pria dan 17 wanita serta anak-anak. Dan di antara yang melakukan hijrah tersebut termasuk Abdul Rahman Bin Auf.
Tidak lama kemudian Abdul Rahman Bin Auf dan beberapa temannya telah kembali ke kota Mekah sehingga sampai pada waktu Allah memenintahkan kepada Rasulullah saw untuk melakukan hijrah keYathrib (Madinah)   dilakukan Rasulullah sendiri dan para sahabatnya dan diantaranya termasuk juga Abdul Rahman Bin Auf.
Setiba di Madinah sebagaimana yang diperlakukan oleh Rasul terhadap lain-lain sahabat dalam rangka memberikan bantuan, maka Abdul Rahman Bin Auf telah dipersaudarakan oleh Baginda dengan Sa'ad bin Rabi 'seorang dari kaum Anshar.
Demi kecintaan Saad Bin Rabi 'kepada saudaranya dan kaum Muhajirin, ia telah mengatakan kepada Abdul Rahman demikian antara lainnya, "Saudara, ketahuilah bahwa saya adalah seorang Anshar yang banyak harta, dan kiranya saudara sudi ambillah setengah dan kekayaan saya itu. Saya juga memiliki dua orang istri dan kiranya Saudara sudi mana satu diantaranya, saya sudah mencaraikannya sehingga dapat saudara menikahinya’. Mendengarkan kata-kata sahabatnya itu Abdul Rahman Bin Auf seraya menjawab, "Saudaraku, semoga Allah akan memberikan berkat terhadap keluarga dan hartabenda saudara. Janganlah disusahkan tentang din saya ini, yang penting bagi saya ialah kiranya saudara sudi menunjukkan saya jalan menuju ke pasar’.
Sungguh beliau memang seorang pedagang yang berbakat dan pintar. Dalam sekejap waktu saja ia berhasil menunjukkan keahliannya dalam berdagang sampai berhasil memperoleh harta yang banyak. Beliau memiliki 100 ekor kuda yang dapat dipergunakan dalam peperangan 100 ekor unta dan 10.000 ekor kambing sehingga diwaktu beliau meninggal, tatkala dihitung seperempat dan kekayaannya menyamai jumlah 84 ribu dinar. Akan tetapi disamping kekayaannya yang melimpah itu, beliau termasuk orang yang paling dermawan dan paling pemurah juga merupakan seorang tokoh sahabat yang paling banyak berbuat kebajikan terhadap kaum fakir miskin.
Pada zaman Rasulullah SAW, beliau   pernah membagi seluruh kekayaannya dan menyerahkan yang sebagian itu kepada orang-orang yang membutuhkannya. Pernah terjadi dalam satu peristiwa, Abdurrahman Bin Auf mengeluarkan sedekah sekali duduk sebesar 40 ribu dinar, dan pernah ia membiayai perang dengan menyediakan perlengkapan sebanyak 500 ekor kuda tempur lengkap dengan senjatanya pakaian makanan untuk dipergunakan oleh para prajurit dan juga dalam waktu yang sama membawa konvoi perbekalan yang diangkut oleh 500 unta.
Mengingat jasa dan pengorbanan menegakkan Islam dengan hanta kekayaannya Rasulullah SAW pernah bersabda, "Abdul Rahinan Bin Auf adalah saudagar Tuhan" sebagai memujinya atas perannya menegakkan agama ALlah dengan harta kekayaan. Dalam satu riwayat lain pula Rasulullah pernah bersabda, "Sesungguhnya mereka yang memelihara keluarga saya setelah saya meninggal adalah manusia yang benar dan manusia yang memiliki kebajikan”. Dalam hal ini Abdul Rahmanlah salah seorang sahabat yang menyahut seruan Rasulullah saw karena beliaulah yang menyiapkan fasilitas untuk Ummul Mu'minin dalam melakukan ibadah haji dibawah lindungan beliau.
Disamping memiliki kekayaan yang berlimpah beliau adalah seorang yang takut dan benci kepada harta kekayaan dan selalu menghindarkan din dan penganuh kekayaannya. Adalah diriwayatkan bahwa pada suatu han Abdul Rahman Bin Auf menangis tersedu-sedu lalu ia ditanyai orang apakah yang menyebabkan ia menangis itu, lalu dijawabnya, "Sesungguhnya Mas'ab adalah lebih baik dariku karena ia meninggal dunia di zaman Rasul dan diwaktu meninggal dunia ia tidak memiliki sepotong kain yang dapat dijadikan kafan untuk membungkusnya. Sesungguhnya Hamzah Bin Muttalib adalah manusia yang lebih utama dari saya padahal ia tidak memiliki kain yang dapat dijadikan kafan untuk memakamkannya. Saya khawatir saya ini termasuk di antara orang-orang yang dipercepat untuk menikmati kebahgiaan dunia fana ini dan saya khawatir bahwa saya akan tersisih dari para sahabat Nabi diakhirat kelak disebabkan karena saya memiliki banyak harta. Dalam satu riwayat yang lain pula diceritakan orang bahwa tatkala Abdurrahman Bin Auf memberikan makanan kepada tamunya ia tiba-tiba menangis lalu ditanyai orang, "Mengapakah engkau menangis hai Ibnu Auf? "Ia lalu menjawab," Nabi telah wafat, sedangkan ia dan keluarganya tidak pernah kenyang oleh roti gandum.
Demikianlah jiwa Abdurrahman Bin Auf salah seorang sahabat besar Rasulullah. Mengingat besarnya semangat pengorbanannya itu maka tidaklah heran kiranya Rasulullah saw mengatakan bahwa Abdul Rahman adalah di antara sepuluh orang yang telah digembirakan oleh baginda Rasul akan masuk surga.
Dizaman Umar Al Khattab, Abdurrahman Bin Auf telah memperoleh kehormatan dan keutamaan di sisi Khalifah. Di zaman Khalifah, beliau pernah ditunjuk oleh Khalifah Umar untuk memimpin rombongan haji pada tahun pertama setelah Sayyidina Umar dipilih sebagai khalifah. Bahkan beliau jugalah salah seorang yang telah diwasiatkan oleh Khalifah Umar Al Khattab sebelum wafatnya beliau menjadi salah seorang anggota dalam dewan komite di antara enam orang anggota untuk memilih calon khalifah yang akan menggantikan beliau. Beliaulah juga tokoh yang memimpin tugas untuk menentukan siapa yang bakal menggantikan Khalifah Umar Al Khattab sebagai khalifah ketiga umat Islam yang akhirnya jatuh ketangan Sayyidina Utsman Bin Affan
Pada tahun 31 Hijrah, setelah menempuh hidup didunia yang fana mi selama 74 tahun, berpulanglah tokoh sahabat besar ini kerahmatullah. Dalam usia 75 tahun. Dan sebelum meninggalnya, Ummul Mu'minin Aisyah telah menawarkan bahwa jika ia menghendakinya akan ditempatkan kuburannya nanti di sisi kuburan Nabi, Abu Bakar dan Umar ra Dengan suara yang rendah hati ia menjawab bahwa ia malu jika diberi posisi yang sedemikian tingginya untuk berkubur di samping Rasul . Dan ia juga menyatakan bahwa dirinya telah terikat janji dengan Utsman Bin Mazh'un bahwa jika salah satu di antara mereka berdua meninggal lebih dahulu, maka ia akan berkubur di samping kuburan temannya yang lain. Jenazah beliau dimakamkan di Baqi dan disholatkan oleh Sayyidina Utsman Bin Affan, Zubair Ibnul Awwam dan lain-lain tokoh sahabat.

Kamis, 30 Mei 2013

SALMAN AL-FARISI PEMIMPIN YANG RENDAH HATI

Salman Al-Farisi tergolong sebagai salah seorang sahabat Rasulullah saw. Dia berasal dari negeri Persia. Pernah di masa hidupnya, Salman telah diberi jabatan sebagai gubernur di salah sebuah jajahan takluk Islam. Namun demikian kedudukannya itu tidak sedikit pun mengubah kepribadiannya yang penyantun, rendah hati, serta zuhud terhadap kemewahan dunia.

Pada suatu hari, diriwayatkan seorang warga sipil tanpa mengenali Salman terus menariknya secara kasar lalu menyuruhnya melakukan suatu kerja yang berat. Orang itu menemukan Salman ketika berada di tepi jalan. Ia memiliki sebuah karung besar lalu menyuruh Salman memikulnya sampai ke rumah. Tanpa banyak soal Salman terus memikulnya.

Di pertengahan jalan, seorang pria telah memberi salam kepadanya. Alangkah terkejutnya melihat Salman memikul karung. Lalu berkata: " Wahai tuan! Tahukah tuan bahwa orang yang memikul karung tuan itu adalah Salman Al-Farisi, Amir negeri kita ini . "

Terkejut lelaki itu mendengarnya, apabila teringat orang yang dikasarinya itu adalah gubernurnya sendiri. Lantas dia meminta maaf lalu menyuruh Salman menurunkan karung yang sedang dipikulnya itu. Tetapi Salman menjawab: " Oh tidak mengapa tuan. Biarlah saya memikul barang tuan ini hingga sampai ke rumah tuan ". 

Demikianlah ketinggian budi pekerti Salman Al-Farisi, salah seorang sahabat Rasulullh saw. yang tidak mementingkan derajat posisi.

  sumber :http://www.islam2u.net/index.php?option=com_content&view=article&id=350:salman-al-farisi-pemimpin-yang-rendah-diri&catid=14:kisah-kisah-sahabat&Itemid=75

Kamis, 23 Mei 2013

Makna Iman

Pada saat Malaikat Jibril bertanya tentang konsep Iman, Islam dan Ihsan, Rasulullah SAW menjawab :”Bahwa Iman ialah hendaklah Engkau mengimankan Allah, Malaikat Allah, Kitab kitab Allah, para Uusan Allah, Hari Qiyamat, dan mengimankan Taqdir, baik dan buruknya adalah ketentuan Allah. Islam ialah hendaklah engkau bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan yang patut disembah melainkan Allah, dan nabi Muhammad adalah UtusaNYA, mendirikan Shalat, Menunaikan Zakat, berpuasa Ramadhan, dan berangkat Haji bila telah mampu. Sedangkan Ihsan yaitu hendaklah engkau beribadah kepada Allah seperti engkau melihatNYA, apabila tidak bias demikian ,maka sesungguhnya Allah melihat engkau”. Melihat makna Hadist yang diriwayatkan Imam Bukhari diatas, Iman berarti kepercayaan hati dibarengi dengan membenarkan segala apa yang disampaikan Rasulullah. Islam berarti kepatuhan dan penyeragan lahiriyah dengan mengucapkan kalimat syahadat. Dan Ihsan berarti, kejernihan dan keihlasan hati beribadah karena Allah dengan sungguh sungguh. Antara ketiga kekuatan itu saling kerja sama dan saling membutuhkan dalam mencapai puncak kerelaan Allah. Iman sebagai landasan Islam dan Ihsan, Islam sebagai bentuk manifestasi Iman dan Ihsan, sedangkan Ihsan mengusahakan agar keimanan dan keislaman yang sempurna. Secara lahiriyah orang tidak dapat dikatakan Islam manakala tidak mengucapkan syahadat, ibadah shalat, zakat berpuasa ramadhan, dan menunaikan haji yang merupakan pelaksanaan Ihsan secara lahiriyah, atau kesempurnaan Islam itu sama sekali tidak berarti, jika tidak dilandasi Iman ( Tashdiq ) dan Islam ( membaca syahadat ). Ibadah shalat, zakat, puasa, haji dan lain lain akan menjadi berarti manakala ada Iman dan Islam, karena syarat Ihsan secara lahiriyah harus dengan Iman dan Islam, meskipun sahnya Iman dan Islam itu tidak harus dengan Ihsan. Memang Iman dan Islam itu otonom jika dilihat dari keabsahanya, karena Iman dan Islam sudah merupakan jaminan keselamatan dunia dan ahirat. Iman yang benar dapat menyelamatkan dari keabadian siksa Neraka, sedangkan Islam dapat menjaga hak hidup lahiriyah yang berhubungan dengan agama dan Mu’amalah, Munakahat, Waris mewaris dan lain sebagainya. Tetapi kemungkinan Iman dan Islam itu akan menjadi kering kerontang, bahkan musnah sama sekali dari lubuk hati, manakala tidak mengakui atas segala dosa dosa yang telah dilakukanya, karena suatu dosa lambat laun akan menyeret pelakunya pada kekufuran, jika tidak lekas di taubati. Oleh sebab itu sebagai Mukmin yang baik disamping beriman dan berislam, hendaklah melaksanakan segala kewajiban dan menjauhi segala larangan Allah SWT, secara sadar, agar memperoleh Ihsan yang sebenarnya. Ushuliddin, Fiqih Dan Tashawuf Itulah sebabnya, Ulama’-ulama’ pakar Alussunah menerangkan bahwa Iman, Islam dan Ihsan itu terdapat tiga pandangan, Uhuliddin, Fiqih Dan Tashowuf. Dari ketiga itu kemudian muncul istilah Ushulul Fiqh, Fiqhul Ushul, Ushulul Ushul, Tasawuful Ushul, Ushulut Tasawuf, Fiqhut Tasawuf, dan sebagainya. 1. Menurut ilmu Ushuliddin, Iman ialah kepercayaan membenarkan dalam hati kepada segala apa yang disampaikan Rosululloh, berupa hukum perintah, larangan, berita dan janji yang termaktub dalam Al Qur’an dan Al Hadits Shohih. Terwujudnya iman dalam hati itu sudah barang tentu tidak mengabaikan syarat dan rukun-rukun yang menjadikan sebab kebenaran iman itu dengan menjaga dari segala keyakinan yang merusak iman. Menurut ilmu Ushuliddin Islam ialah kepatuhan penyerahan mengucapkan dua kalimah Syahadad serta mengetahui, mengimani dan membenarkan makna dua kalinah Syahadad. Yakni bahwa tiada Tuhan yang patut disenbah kecuali Alloh dan Nabi Muhammad itu utusan Alloh. 2. Menurut ilmu Fiqih, Iman ialah kepercayaan membenarkan dalam hatikepada segala apa yang dating dari Rosulullohsebagai landasan amal ibadah kepada Alloh, karena amal ibadah yang tidak berlandaskan iman mustahil akan menjadi sah. Sedangkan Islam menurut ilmu Fiqih adalah pekerjaan ibadah seperti Sholat, Zakat, Puasa, Haji dan lain-lain dengan memenuhi syarat dan rukun serta menjaga dari segala hal yang membatalkannya. Jadi Islam sebagai manifestasi iman yang kemudian Islam menjadi syarat keabsahan ibadah dalam fiqih. 3. Menurut ilmu Tasawuf, iman merupakan landasan pokok diterimanya ibadahkemudian Alloh memberikan pahala dengan ibadah yang dikerjakan. Dan Islam menurut Tasawuf ialah ibadah yang benar itu dapat lantaran tercapainya Ihsan yang menyebabkan ibadah tersebut memperoleh pahala. Dalam kata lain, Ihsan dapat dicapai kalau memang amal ibadah (Islam) nya itu benar dan tentunya berdasarkan iman yang benar juga. 4. Dan Ihsan menurut ilmu Fiqih ialah perilaku ibadah secara lahir. Orang beribadah secara lahiriyah bias dikatakan Ihsan (kebagusan). Namun ilmu Tasawuf menggariskan ibadah Ihsan itu ialah iabadah yang disertai dengan adab dan sopan santun menurut agama. Adab atau sopan santun didalam ibadah ialah melaksanakan sifat-sifat yang terpuji (mahmudah) dan menjauhi sifat-sifat tercela (mazmumah) sifat-sifat terpuji dalam ibadah ialah adanya perilaku suhud, qona’ah, sabar, tawakkal, mujahadah, ridlo, syukur dan ihlas, khouf, mahabbah, ma;rifat kemudian khusu’. Adapun sifat-sifat tercela dalam ibadah ialah, hubbuddunia, thama’, ithbaul hawa (mengikuti hawa nafsu) ‘ujub, riya, takabbur, hasud, dan sum’ah kemudian tidak khusu’. Walhasil bahwa sesungguhnya Iman itu berarti Aqidah, Islam berarti Syari’ah dan Ihsan berarti Ahlaqul karimah. Bab iman masuk kedalam Ushuliddin, Islam masuk kedalam Fiqih dan Ihsan masuk kedalam bab Tasawuf. Ketiganya ; Iman, Islam dan Ihsan dalam pengamalan adalah satu kesatuan yang dirumuskan menjadi tiga perkara : Syari’ah, Thoriqoh, Haqiqoh kemudian menghasilkan Ma’rifatulloh (berfikir tentang ciptaan Alloh) Syari’at, Thoriqot, Haqiqot adalah dari tiga kesatuan terpenting, uaitu Iman, Islam, dan Ihsan, kemudian Ulama’ Ahlussunah merumuskan menjadi tiga perkara, ketiganya itu merupakan kesatuan yang tidak bias dipisahkan, yaitu Syari’at, Thariqat, dan Hakikat. Ketiganya selalu berhubungan dengan masalah Ibadah dan Mu’amalah, berikut gambaranya : 1. Syari’at Ibadah. Syari’at orang yang beribadah ialah melengkapi segala syarat dan rukunya, melakukan kewajiban dan meninggalkan maksiat, yakni didalamnya mencakup Iman dan Islam, karena syarat sah dan syarat wajib dalam ibadah haruslah berlandaskan Iman dan Islam. Syari’at Mu’amalah adalah, pertatian dan perdagangan hendaknya mentaati segala undang undang agama yang bersumber dari Alqur’an dan Sunnah Rasul yang telah dirumuskan sedemikian rupa oleh para Ulama’ Mujtahid dalam ilmu Fiqih. 2. Thariqat ibadah. Thariqat orang beribadah ialah bertujuan karena Allah semata, tidak karena yang lain. Sebab hanya Allah lah yang dapat menerima atau menolak segala amal ibadah manusia. Dan Thariqat Mu’amalah ialah hasil keuntungan dari pertanian dan perdaganganya, dimanfaatkan untuk mencari Ridla Allah semata, walaupun dari hasil yang mubah, akan tetapi jika di niati untuk berbakti kepada Allah, semisal untuk menafkahi keluarga, biaya pendidikan, dan beramal kebaikan yang lain, niscaya tidak akan sia sia. 3. Hakikat Ibadah. Hakukat prang beribadah ialah, memandang bahwa kemampuan dirinya dan tersedianya segala sarana yang melengkapi ibadahnya itu secara hakikatnya dari kemurahan Allah. Tanpa kekuasaan dan kehendak Allah, tidak mungkin manusi dapat melakukan Ibadah. Sedangkan Hakikat Mu’amalah yaitu memandang bahwa keberhasilan dalam Usaha pertanian ataupun perdaganganya adalah atas Inayah dan AnugerahNYA semata. Manusia tidak ada hak wewenang memastikan keberhasilan sesuatu yang dikerjakan, dan tidak berhak pula mengakui keberhasilanya disebabkan karena usahanya belaka. Ibadah dan Mu’amalah, lewat tiga rumusan diatas akan melahirkan Ma’rifatullah. Demikian K.H. Ahmad Rifai menyatakan dalam Tahyirah Muhtashar, Abyanal Hawa’ij, Ashnal MIqashad, dan Ri’ayatul Himmah. Sumber http://pengkajianpelitahati.wordpress.com/2011/10/12/iman-islam-dan-ihsan/

Sabtu, 11 Mei 2013

KAYA HATI


بسم الله الرحمن الرحيم
Kalau pertanyaan berikut diajukan kepada kita: mau jadi orang kaya atau miskin? Tentu mayoritas, atau bahkan semua akan memilih jadi orang kaya. Pilihan ini wajar karena kekayaan identik dengan kebahagiaan, kecukupan dan ketenangan hidup, sementara tentu tidak ada seorangpun yang ingin hidupnya sengsara.
Akan tetapi permasalahan yang sebenarnya adalah dengan apa orang menjadi kaya sehingga dia bisa hidup tenang dan berkecukupan? Apakah dengan harta benda atau pangkat dan jabatan duniawi semata?
Jawabannya pasti: tidak, karena kenyataan di lapangan membuktikan bahwa banyak orang yang memiliki harta berlimpah dan jabatan yang tinggi tapi hidupnya jauh dari kebahagiaan dan digerogoti berbagai macam penyakit kronis yang bersumber dari hati dan pikirannya yang tidak pernah tenang.
Kalau demikian, dengan apakah seorang manusia bisa meraih kekayaan, kecukupan dan kebahagiaan hidup sejati?
Temukan jawaban pertanyaan di atas dalam hadits berikut ini::
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan/kecukupan (dalam) jiwa (hati)1.
Inilah jawaban dari hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang merupakan wahyu Allah Ta’ala Pencipta alam semesta beserta isinya, termasuk jiwa dan raga manusia. Dialah Yang Maha Mengetahui tentang segala keadaan manusia, tidak terkecuali sebab yang bisa menjadikan mereka meraih kekayaan, kecukupan dan kebahagiaan hidup sejati.
Maha benar Allah Ta’ala yang berfirman:
أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
Bukankah Allah yang menciptakan (alam semesta beserta isinya) maha mengetahui (segala sesuatu)? Dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (QS al-Mulk:14).
Hadits ini merupakan argumentasi kuat, ditambah bukti nyata di lapangan, yang menunjukkan bahwa kekayaan dan kecukupan dalam hati merupakan sebab kebahagiaan hidup manusia lahir dan batin, meskipun orang tersebut tidak memiliki harta yang berlimpah.
Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika segumpal daging itu baik maka akan baik seluruh tubuh manusia, dan jika segumpal daging itu buruk maka akan buruk seluruh tubuh manusia, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia”2.
Benar, kekayaan yang sejati adalah iman kepada Allah Ta’ala dan ridha terhadap segala ketentuan dan pemberian-Nya, ini akan melahirkan sifat qana’ah (selalu merasa cukup dengan rezki yang diberikan Allah Ta’ala).
Inilah sifat yang akan membawa keberuntungan besar bagi hamba di dunia dan akhirat. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rizki yang secukupnya dan Allah menganugrahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas) dengan rezki yang Allah Ta’ala berikan kepadanya3.
Apa yang dijelaskan dalam hadits ini tidaklah mengherankan, karena arti “kaya” yang sesungguhnya adalah merasa cukup dan puas dengan apa yang dimiliki, adapun orang yang tidak pernah puas dan selalu rakus mencari tambahan, meskipun hartanya berlimpah, maka sungguh inilah kemiskinan yang sejati, karena kebutuhannya tidak pernah tercukupi.
Imam Ibnu Baththal berkata: “Makna hadits di atas: Bukanlah kekayaan yang hakiki (dirasakan) dengan banyaknya harta, karena banyak orang yang Allah jadikan hartanya berlimpah tidak merasa cukup dengan pemberian Allah tersebut, sehingga dia selalu bekerja keras untuk menambah hartanya dan dia tidak perduli dari manapun harta tersebut berasal (dari cara yang halal atau haram). Maka (dengan ini) dia seperti orang yang sangat miskin karena (sifatnya) yang sangat rakus. Kekayaan yang hakiki adalah kekayaan (dalam) jiwa (hati), yaitu orang yang merasa cukup, qana’ah dan ridha dengan rezki yang Allah limpahkan kepadanya, sehingga dia tidak (terlalu) berambisi untuk menambah harta (karena dia telah merasa cukup) dan tidak ngotot mengejarnya, maka dia seperti orang kaya”4.
Oleh karena itu, kemiskinan yang sebenarnya adalah sifat rakus dan ambisi yang berlebihan untuk menimbun harta serta tidak pernah merasa cukup dengan pemberian Allah Ta’ala.
Padahal kalau saja seorang manusia mau berpikir dengan jernih dan merenungkan, apakah kerakusan dan ketamakannya akan menjadikan rezki yang telah Allah Ta’ala tetapkan baginya bisa bertambah dan semakin luas? Tentu saja tidak, karena segala sesuatu yang telah ditetapkan-Nya tidak akan berubah, bertambah atau berkurang.
Bahkan lebih dari itu, justru kerakusan dan ambisi yang berlebihan mengejar perhiasan dunia, itulah yang akan menjadikannya semakin menderita dan sengsara. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan utama)nya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya)5.
Kesimpulannya, orang yang paling kaya adalah orang yang paling qana’ah (selalu merasa cukup dengan rezki yang diberikan Allah ) dan ridha dengan segala pembagian-Nya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “…Ridhalah (terimalah) pembagian yang Allah tetapkan bagimu maka kamu akan menjadi orang yang paling kaya (merasa kecukupan)6.
Semoga tulisan ini bermanfaat untuk semua orang yang membaca dan merenungkannya.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 29 Rabi’ul awal 1434 H
1 HSR al-Bukhari (no. 6081) dan Muslim (no. 1051).
2 HSR al-Bukhari (no. 52) dan Muslim (no. 1599).
3 HSR Muslim (no. 1054).
4 Kitab “Tuhfatul ahwadzi” (7/35).
5 HR Ibnu Majah (no. 4105), Ahmad (5/183), ad-Daarimi (no. 229), Ibnu Hibban (no. 680) dan lain-lain dengan sanad yang shahih, dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, al-Bushiri dan syaikh al-Albani.
6 HR at-Tirmidzi (no. 2305) dan Ahmad (2/310), dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani.
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA.
Artikel Muslim.Or.Id

like box

NetworkedBlogs

COMMENTS

 
ISLAM | BLOG BAGUS - BAGUSSYUHADA | FII SABILILLAH